oleh: Sigit Setyawan
Gejolak kemanusiaan apa yang muncul saat kita sedang menunggu sesuatu? Entah menunggu bus yang lama datang untuk mengantarkan pergi ke tempat tujuan, atau menunggu teman yang belum hadir dalam rapat, atau menunggu yang lainnya. Tentunya jawaban yang ada sangat variatif. Menunggu bisa saja hanya memunculkan rasa bosan, jenuh, monoton, bahkan membawa kita pada sikap kurang bijaksana. Misalkan membawa kita kepada prasangka negatif kepada orang yang kita tunggu. Pada akhirnya menunggu yang semacam ini tidak menghadirkan kebaikan sedikit pun, justru menghadirkan hal sebaliknya. Tetapi yang menjadi catatan, tidak selamanya menunggu itu membosankan, menjenuhkan atau membawa kita pada aktivitas yang tidak bermanfaat.
Pada dasarnya dampak dari aktifitas menunggu itu tergantung bagaimana cara kita mensiasati dan mengaturnya. Bagi kalangan yang tidak kreatif menunggu hanya memunculkan hal-hal yang kurang bermanfaat. Menunggu sebetulnya adalah ruang kosong (blank space) bagi kita dimana hal tersebut bisa digunakan untuk melakukan aktifitas tertentu. Disaat menunggu itulah ada waktu senggang bagi kita, baik hanya sekadar 30 menit atau berjam-jam, bahkan bertahun-tahun. Sudah barang tentu aktifitas yang dimaksud adalah aktifitas yang membawa nilai kebaikan dan kebermanfaatan. Salah satu aktifitas yang dimaksud adalah membaca.
Membaca adalah aktifitas yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Bagi para ulama, membaca sudah menjadi tradisi yang berkembang. Kegemilangan islam yang mencapai puncaknya di masa Harun Al-Rasyid dan Al Ma’mun diwarnai dengan tradisi keilmuan yang kuat, salah satunya adalah persoalan baca. Membaca menjadi salah satu jalan untuk menguasai bidang keilmuan, karena akan kita temukan gizi ilmu dalam setiap bacaan. (lebih…)